Cantrang – Dampak Bagi Lingkungan & Untung Rugi Nelayan
Cantrang Nelayan – Alat menangkap ikan (fishing tackle) merupakan peralatan wajib yang digunakan oleh nelayan dan pemancing untuk menerima ikan dan hewan bahari yang lain. Penggunaan alat tangkap ikan tersebut dikontrol penggunaannya oleh negara, salah satunya adalah penggunaan cantrang oleh nelayan.
Pengertian Cantrang
Apa itu cantrang? Bagi yang pernah bersinggungan dengan kehidupan laut atau berprofesi selaku nelayan, niscaya sudah mengenal apa itu cantrang.
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KPP), cantrang yaitu alat penangkapan ikan yang bersifat aktif dengan pengoperasian menyentuh dasar perairan.
Cara Penggunaan Cantrang
Cara penggunaannya dimulai dengan menebar tali selambar secara melingkar, dilanjutkan dengan menurunkan jaring cantrang. Lalu, diturunkan lagi tali selambar dan dipertemukan dengan tali selambar yang sudah ditebar sebelumnya. Kedua ujung tali ini kemudian ditarik ke arah kapal sampai seluruh bagian kantong jaring terangkat.
Sejarah Penggunaan Cantrang
Penggunaan cantrang oleh nelayan sebetulnya bermula dari pertentangan antara nelayan pengguna alat tangkap ikan jenis pukat harimau (trawls) dengan nelayan tradisional pengguna alat tangkap ikan jenis non trawls. Konflik yang terjadi pada sekitar tahun 1970-an ini sungguh serius, alasannya adalah berujung pada aksi pembakaran kapal.
Melihat kondisi tersebut, Presiden Soeharto tak tinggal membisu. Beliau kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden No. 39 tahun 1980 ihwal Penghapusan Trawls di Perairan Sumatra, Jawa, dan juga Bali.
Larangan penggunaan trawls inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya cantrang selaku alat tangkap ikan pengganti trawls. Dengan kata lain, cantrang ialah hasil adaptasi dari alat tangkap ikan trawls, hanya saja bentuk cantrang lebih sederhana dibandingkan trawls.
Selain itu, cantrang juga dapat dioperasikan dengan memakai kapal kecil. Tak pelak, cantrang pun menjadi alat tangkap ikan favorit bagi para nelayan, khususnya para nelayan di kawasan perairan Laut Utara dan Selatan Jawa.
Dengan lahirnya cantrang, maka terbit pula Keputusan Dirjen Perikanan No. IK.340/DJ.10106/97 yang menyebutkan bahwa alat tangkap cantrang, arad, otok, dan garuk kerang, dikecualikan selaku jaring trawls, dan diperbolehkan untuk nelayan kecil dengan ukuran kapal maksimal 5 Gross Ton (GT) dengan mesin optimal berukuran 15 Paarden Kracht (PK).
Selain itu, adapula Kepmen KP No.6/2010 yang mengkategorikan cantrang sebagai salah satu alat tangkap Pukat Tarik yang boleh beroperasi di daerah perairan RI. Kesimpulannya, penggunaan cantrang legal bagi para nelayan, sebab sudah ada payung hukumnya.
Dengan diperbolehkannya penggunaan cantrang, maka jumlah kapal nelayan yang menggunakannya selaku alat tangkap ikan pun melambung. Berdasarkan hasil Forum Dialog pada tanggal 24 April 2009 antara Nelayan Pantura dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah, TNI-AL, POLRI, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyimpulkan jumlah kapal cantrang pada tahun 2004 berjumlah sebanyak 3.209 unit.
Jumlah tersebut sudah mengalami peningkatan menjadi 5.100 unit pada tahun 2007. Jumlah ini berbanding terbalik dengan hasil tangkapan ikan yang justru menurun dari 8,66 ton pada tahun 2004 menjadi 4,84 ton saja pada tahun 2007.
Dari tahun ke tahun, penggunaan jumlah kapal cantrang semakin bertambah. Pada tahun 2015, tercatat jumlah kapal yang memakai cantrang di Provinsi Jawa Tengah sebanyak 10.578 unit. Jumlah tersebut meningkat lebih dari 100% bila dibanding tahun 2007 yang cuma berjumlah 5.100 unit kapal.
Berapa Banyak Tangkapan yang Dihasilkan?
Masih menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KPP), penggunaan cantrang nelayan bisa mencoba mendapatkan 46-51% hasil tangkapan yang bernilai ekonomis dan pantas konsumsi. Sisanya 49-54% menghasilkan tangkapan sampingan (baycatch), mirip ikan petek. Ikan petek ini hanya bisa dimasak menjadi tepung ikan untuk bahan pakan ternak.
Selain data dari KPP, adapula data dari hasil penelitian yang dikerjakan oleh Institute Pertanian Bogor (IPB), di Brondong-Lamongan pada tahun 2009. Hasilnya, hanya 51% dari hasil tangkapan cantrang yang merupakan ikan sasaran, sedangkan 49% sisanya merupakan ikan non sasaran.
Tak beda jauh dengan hasil observasi di Tegal pada tahun 2008 yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro. Penelitian ini menyajikan hasil penggunaan cantrang cuma bisa menangkap 46% saja dari ikan sasaran dan 54% yang lain adalah ikan non target yang didominasi ikan rucah.
Hasil tangkapan cantrang ini rata-rata dibeli dengan harga paling mahal cuma Rp 5.000 saja per-kilogram-nya. Dengan kata lain, penggunaan cantrang ini tidak mampu mengembangkan kesejahteraan nelayan secara signifikan.
Dampak Negatif Penggunaan Cantrang Bagi Alam Bawah Laut
Penggunaan cantrang bahwasanya tergantung pada ukuran kapal, dalam artian, cantrang memiliki beberapa ukuran yang berlainan. Berdasarkan Keputusan Dirjen Perikanan No. IK.340/DJ.10106/97, kapal yang boleh menggunakan cantrang hanyalah kapal kecil dengan ukuran kapal 5 Gross Ton (GT) dengan mesin maksimal 15 Paarden Kracht (PK).
Cantrang yang dipakai untuk kapal ini ialah cantrang dengan tali selambar yang panjangnya kurang lebih 1.000 meter. Panjang ini terbagi dalam sisi kanan dan segi kiri, masing-masing dengan panjang 500 meter. Dengan ukuran ini, sapuan lintasan tali selambar bisa dikatakan sangat luas.
Sedangkan untuk kapal dengan ukuran di atas 30 Gross Ton (GT) yang biasanya dilengkapi pula dengan ruang penyimpanan berpendingin (cold storage). Jaring cantrang yang digunakan yakni jaring cantrang dengan tali selambar sepanjang 6.000 meter. Dengan keliling lingkaran berskala 6.000 meter ini, sapuan tali selambar mampu mencapai luasan kawasan hingga 289 Ha.
Tentu saja, ada konsekuensi besar dari penggunaan cantrang nelayan dengan sapuan daerah seluas itu. Apalagi jikalau bukan pengadukan dasar perairan yang menyebabkan kerusakan pada dasar perairan, dan menimbulkan dampak negatif pula terhadap keberlangsungan ekosistem dasar bawah laut, misalnya rusaknya terumbu karang.
Polemik dan Larangan Penggunaan
Oleh pemerintah, penggunaan cantrang dewasa ini dinilai sudah tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Di atas, telah diterangkan bahwa Dirjen Perikanan No. IK.340/DJ.10106/97 menyebutkan penggunaan cantrang cuma diperbolehkan oleh nelayan dengan ukuran kapal optimal 5 Gross Ton (GT).
Namun pada kenyataannya, pemerintah mendapatkan ada banyak cantrang yang ditarik oleh gardan dengan diberi pemberat oleh kapal berskala 70-100 GT. Jauh lebih besar dari ukuran kapal yang diperbolehkan.
Dengan ukuran kapal sebesar itu, pasti cantrang yang dipakai pun jauh lebih besar. Wilayah penyebaran cantrang otomatis kian luas, hingga 6 km. Hal ini memastikan kian luas kawasan perairan dasar laut yang rusak dan semakin banyak pula ikan kecil yang belum pantas tangkap terjaring oleh cantrang nelayan.
Melihat kondisi tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti mengeluarkan Permen KP No. 2 tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik di Wilayah Perairan Indonesia. Salah satunya yakni cantrang, yang masih tergolong alat tangkap pukat tarik.
Sampai saat ini, KPP masih tegas memberlakukan larangan tersebut. KPP menghimbau kepada para nelayan untuk mengubah cantrang dengan alat tangkap ikan yang lebih ramah lingkungan. Aturan ini berlaku bagi nelayan dengan ukuran kapal di bawah 10 GT.
Selain itu, KPP juga mengambil inisiatif dengan membuka kanal perbankan atau permodalan untuk mengubah alat dan pengalihan lokasi tangkapan. Harapannya, bertambah banyak nelayan yang beralih memakai alat tangkap ikan yang lebih ramah lingkungan semoga lingkungan laut tidak terkena pengaruh jelek penggunaan cantrang.
Comments
Post a Comment